Hakikat Cinta
May 21, 2018
Suatu ketika seorang teman pernah mengatakan begini, “Ada seorang istri yang sangat sabar, ketika suaminya berjudi, dia sabar. Ketika suaminya berlaku kasar, dia sabar. Ketika suaminya melalaikan tanggung jawab dari memberi nafkah, dia sabar. Namun ketika suaminya menikah lagi, dia tidak bersabar. Padahal suami menikah lagi (poligami) bukanlah perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT, sementara berjudi, berlaku kasar pada istri dan tidak memberi nafkah adalah perbuatan-perbuatan suami yang melanggar perintah Allah.”
Saya
tidak ingin mengatakan bahwa semua suami bisa dan boleh berpoligami. Terkadang banyak
pula yang takut pada kewajiban setelah memutuskan untuk berpoligami, yaitu
memberikan keadilan. Kalau kata ustad Khalid Basalamah bilang, “Poligami adalah bab tertinggi dalam
pernikahan, ibaratnya orang mau mendirikan perusahaan cabang, perusahaan
pertama harus stabil dulu, baru bisa membangun yang baru. Kalau yang pertama
aja udah kacau balau, bagaimana bisa membangun yang lain? Ga mungkin.”
Memang
keadilan suami dalam poligami adalah tentang nafkah dan giliran malam. Sementara
cinta atau kecenderungan di dalam hati tak boleh ditampakkan, agar tak membuat
wanita berlinang air mata. Namun, karena wanita ingin dimengerti (baca
sambil nyanyi ya), ia memiliki naluri kasih sayang dan ingin dicintai juga. Saya
sendiri yakin dan percaya bahwa rumah tangga tidak bisa dibangun tanpa adanya
cinta. Dan saling mencintai seharusnya adalah konsekuensi dari sebuah
pernikahan. Dan konsekuensi dari mencintai adalah merindukan dan keinginan
saling menjaga.
Cinta
yang tidak bisa dimengerti oleh orang lain bahwa pria
baik-baik seharusnya tidak bisa mencintai wanita lain selain kekasih hatinya
yang satu orang itu. Persepsi ini berasal dari banyak sumber yang tidak
kredibel, namun selalu dipakai oleh kebanyakan manusia. Terkadang saya juga masih berpikir begini.
Dalam
novel romantika, cinta diartikan ketika pria tidak bisa memikirkan siapa pun
kecuali wanita yang ia telah jatuh cinta kepadanya.
Dalam
drama India cinta seorang pria diartikan dengan terpakunya ia pada sang pujaan
hati, dengan diiringi musik syahdu dan penari gemulai.
Dalam
drama korea, gambaran pria jatuh cinta, seakan-akan salju turun tiba-tiba dari
langit dan waktu berhenti sejenak ketika kaki sang kekasih melangkah.
Dalam
drama ala barat, jatuh cintanya seorang pria digambarkan dengan perjuangannya
mempertahankan yang terkasih apapun dan bagaimanapun caranya.
Begitulah,
terlalu banyak bila digambarkan dengan kata-kata, kebanyakan dari kita mungkin
bakal bilang itu romantis. Tapi, hakikat cinta di dalam Islam tidak begitu. Cinta
hakiki di dalam Islam tak menggantungkan harapan pada manusia. Seperti yang
pernah seorang Khalifah katakan, “Aku
sudah pernah merasakan kepahitan dalam hidup, dan yang paling pahit adalah
berharap pada manusia.” (Ali Bin Abi Thalib)
Mencintai
artinya berharap. Ini hanya boleh dilakukan kepada Sang Maha Pencipta alias
mencintai ya karena Allah. Maksudnya, mencintai karena ia (pasangan kita)
bertakwa kepada-Nya dan membenci bila ia melakukan pelanggaran hukum syara’
atau kezholiman. Cintailah seseorang karena ia melakukan apa yang dicintai oleh
Allah SWT.
Tulisan
ini bukan berarti menandakan bahwa saya bermudah-mudahan dan telah merasa kuat
(sebagai praktisi poligami –istri kedua-). Karena sejatinya ketenangan manusia
dalam menghadapi emosi (baik cinta atau cemburu) itu naik turun. Menulis bagi
saya adalah menasihati diri sendiri. Semoga saya ingat ini ketika tak lagi
mampu berkata-kata atau kala lelah tak lagi mampu mengalihkan rasa.
Jember,
21 Mei 18
Helmiyatul
Hidayati
#CatatanRamadan05
#RamadanBaper
#RamadanPenuhPerjuangan
#InspirasiRamadan
#RamadhanBersamaRevowriter
0 comments
Selamat datang! Berikan komentar yang nyaman dan semoga harimu menyenangkan :)