Kisah Seruni dan Serina – Bag. 1 [ Sampah yang Merasa Berlian ]
June 09, 2018
Seperti
mangga dibelah dua. Serupa tapi tak sama, yang satu akan mendapat biji, satunya
tidak, tapi berasal dari tubuh yang sama. Begitulah Seruni dan Serina, dua
sahabat yang tak suka makan mangga, apalagi tanpa dikupas. Viral dan istana
jelas bukan tujuan mereka. Mereka hanya ingin hidup dengan baik dan tenang.
Lain
Seruni, lain pula Serina. Seruni adalah ibu muda yang produktif. Ibu muda yang
tak pernah tahu sinar matahari. Keluar dari rumah pada pagi hari, memasukinya
kembali ketika hari telah asyik bercumbu dengan sore. Suaminya adalah orang
biasa yang hidup di kota lain. Membuat Runi kesepian dan kelelahan karena harus
sibuk sendiri. Sibuk menata hati sendiri, dan sibuk mencari nafkah sendiri. Tentu
saja, untuk dia dan putranya.
Sementara
Serina berbeda, wanita yang masih melajang tanpa kenyang. Jika Seruni lemah,
maka Serina adalah wanita yang kuat, baik fisik maupun mental emosinya. Melihat
Seruni menangis adalah hal biasa bagi Serina, dan mendengar Serina berbicara
tak ubahnya lagu bagi Seruni. Meskipun begitu mereka saling membutuhkan. Rina
hidup dan bekerja sendiri, tapi tak pernah merasa kesepian, keberaniannya
membuatnya tidak ragu untuk membentak siapapun bila ia kesal. Terkadang ia
mengatakan banyak hal yang mainstream. Entah bagaimana ia bisa memiliki Runi
sebagai sahabatnya.
Serina
tak menikah, ia lelah melihat pernikahan Seruni. Katanya, penuh prahara dan
Runi sama sekali tidak (bisa) memperbaiki itu. Ingin rasanya ia meminjamkan
jiwa pada Runi agar sedikit saja mau bertindak, bukannya asyik dengan pikiran
dan dunianya yang penuh kesibukan. Berusaha menutupi lembaran-lembaran depresi
yang semakin menebal.
“Apalagi
sekarang?” Seru Rina pada Runi, ketika suatu sore ia datang menerobos rumahnya
dengan tangisan berderai-derai.
Runi
tak segera menjawab, ia menghambur dalam pelukan Rina. Tubuhnya bergetar karena
tak bisa berhenti menangis. Rina mulai berpikir untuk memberinya paracetamol
dosis tinggi, karena suhu tubuh Runi tak ubahnya sedang demam tinggi.
“Dia
bilang akan melepasku.” Suara Runi tersendat-sendat. Rina tak segera menjawab. Dipapahnya
Runi di Sofa, agar mereka tenang berbicara.
“Aku
sudah menduga.” Hanya itu jawaban Rina. Dengan santai seakan tanpa belas
kasihan. Ciri khasnya. Rina kemudian sibuk, mencari tissue hingga membuat teh
hangat. Diangsurkannya mereka pada Runi, tapi Runi hanya menerima tissue,
menyeka air matanya yang turun tanpa henti. Sementara teh hangat itu setia
menjadi penonton mereka hingga didekap dingin.
“Apa
yang harus kulakukan?” Kali ini Runi bertanya, matanya penuh harap, seakan Rina
akan memberikan solusi yang bisa menyenangkan pihak A hingga Z.
“Tidak
ada. Jika dia melepasmu, kau hanya harus melakukan bagianmu. Pergi.” Tak ada
kesedihan dari raut Rina ketika mengatakan itu. Membuat Runi semakin
sesenggukan, kini kepalanya mulai pusing. Rina hanya bisa menepuk bahunya.
“Aku
tidak mau menjadi janda. Bayiku tidak akan punya sosok ayah.” Lanjut Runi.
Rina
mendengus, ada ketidaksabaran di wajahnya, “Lalu apa kau bahagia?”
“Aku
akan minta maaf. Aku akan menganggapnya tidak terjadi apa-apa. Aku tidak mau
melakukan sesuatu yang begitu dibenci oleh Allah.” Runi tidak menjawab, ia
membuat pernyataan. Setelah itu ia berusaha menenangkan diri, kemudian bersiap
akan pergi, untuk pulang ke rumah itu. Rina hanya mengamati dengan lelah.
“Aku
sudah bilang padamu untuk tidak menikah dengannya. Dia bukan imam yang bisa kau
jadikan sandaran. Dia bahkan tidak bisa sholat, tidak memberi tapi malah
meminta, tidak berbicara denganmu tapi berbicara apa saja dengan orang lain,
menyuruhmu menjadi keluarganya tapi tidak menganggapmu keluarga. Dia tidak
peduli denganmu, apakah yang kau lakukan salah atau benar, Dia tidak
menganggapmu ibu tapi pembantu. Tidak bisakah kau melihat?” Itu seruan panjang
Rina yang pertama hari ini. Runi hanya memandang datar pada Rina, tidak
membantah karena semuanya benar. Tapi Runi tetap memutuskan untuk pergi.
“Apa
yang dia lakukan saat di tengah malam kau tidur di pos keamanan sambil
menggendong bayimu? Dia tidur di kasurnya yang hangat. Apa yang dia lakukan
saat bayimu menangis? Dia membentakmu, sementara dia melanjutkan tidurnya. Apa yang
dia lakukan saat dia butuh uang? Dia mencarimu, tapi memarahimu ketika kau yang
meminta. Apa yang dia katakan ketika dia ditanya tentang pasangannya? Baginya hal
seperti itu tidak ada.” Teriak Rina lagi, membuat Runi tercekat.
“Apa
dia tahu kau berpuasa hanya demi menghemat pengeluaran? Apa dia tahu kau
meminta sepiring nasi pada tetangga hanya untuk membuat bubur untuk bayimu? Apa
dia tahu bahwa kau pernah tidak bisa membeli bahkan 1 kg beras? Oh, untung saja
waktu itu belum ada beras sachet. Aku pastikan dia pasti akan menyuruhmu membeli
itu. Ide itu konyol total!” Rina kini berapi-api, ia sudah tak tahan lagi. Runi
berbalik dan memandang Rina dengan sendu.
“Mungkin
ada yang salah..” Lirih Runi.
“Apa?”
Tanya Rina
“Aku..”
“Setelah
aku berbicara panjang lebar, kau bilang kau yang salah? Apa kau seorang
pembohong? “ Cerca Rina.
“Aku
tidak berbohong, semua yang kau katakan itu benar. Mungkin, aku salah mengira
saja.”
“Mengira
apa?”
“Aku
kira aku berlian, nyatanya aku adalah sampah.”
BLAM!
Pintu rumah Rina ditutup dengan keras, dibaliknya Runi berlari dengan masih
menangis.
==========================
Jember,
09 Juni 18
Helmiyatul
Hidayati
7 comments
Sukaa mba.. ����
ReplyDeleteterima kasih :)
DeleteMelajang tanpa kenyang itu piye mbak? Hehe.
ReplyDeletega kenyang2. berarti jadi jomblonya lamaaaaa... hahaha
Delete😍😍😍
ReplyDelete😍😍😍
ReplyDeleteHmmm...salah pilih pasangan sepertinya mba😁
ReplyDeleteSelamat datang! Berikan komentar yang nyaman dan semoga harimu menyenangkan :)