Anak adalah Mesin Perekam. Sudahkah Kita Mengawasi?
July 05, 2018
Beberapa hari yang lalu, saat lelah mendekap di sore hari, ingin rasanya merebahkan tubuh di atas tumpukan bahan empuk yang disebut kasur. Apalagi dapet rejeki, anak semata wayang bermain di luar rumah bersama teman-teman barunya. Anak tetangga.
.
Namun
tak sampai 1 (satu) jam, anak lanang tiba-tiba datang sambil menangis
meraung-raung. “Gunting.. gunting.. aku
mau gunting..” begitu katanya. Teranglah naluri ke-emak-an saya menyala,
seperti alarm kebakaran yang baru saja mengendus asap kebakaran.
.
Oh
tidak, bukan berarti saya melarang anak saya berdekatan dengan gunting. Gunting
baginya adalah salah satu mainan, digunakan untuk menggunting kertas lipat. Tentunya
dia bisa saya percaya dengan alat satu itu setelah melalui serangkaian tes dan
pengawasan. #Eyaaa
.
Namun
kali itu, saya tak yakin, gunting itu akan digunakan untuk bermain. Bicaranya tidak
jelas ketika ia menangis. Karena ia termasuk anak dengan gharizah baqo’ (naluri
mempertahankan diri) yang tinggi, maka sesuai tips para bunda kece yang saya
kenal, menghadapinya harus dengan memberikan nau’ (kasih sayang) yang tinggi
pula.
.
Setelah
dia dibujuk-bujuk, dirayu, dipeluk dan dicium, akhirnya pria kecil saya pun
berbicara, bahwa teman-teman barunya mengatakan hal-hal yang membuat dia takut.
Dia bilang, bahwa teman-teman itu akan memotong-motongnya (membunuh) sehingga
ia ingin mempertahankan diri dengan gunting.
.
“Astaghfirullah, kasihan mereka kak, mungkin
mereka ga tahu kalo mereka mengatakan perbuatan yang sangat dibenci oleh
Allah.” Kata saya mencoba menenangkan, tentu saja aslinya kata-kata saya
lebih panjang nan lebar. Masih menjelaskan bahwa perbuatan seperti itu akan
berat pertanggungjawabannya saat di akhirat, termasuk salah satu dosa besar
yang tidak akan diampuni, persidangan di sana berat dsb. Entah dia mengerti
atau tidak, karena ia tidak menggeleng, tidak juga mengangguk.
.
Pada
akhirnya ia pun tidak keluar rumah lagi, kembali bermain dengan kertas lipat
dan legonya. Sambil sesekali mengganggu saya yang sedang mengawasinya sambil
tiduran. Haha
Ketika
mendengar ceritanya ingin sekali saya mendatangi anak-anak itu, sayangnya
mereka sudah tidak ada dan anak saya juga ga tahu mereka anak dari tetangga
mana, karena kami termasuk baru di perumahan yang kami tempati. Akhirnya
biarlah menguap di dalam hati saja.
.
Namun,
hal inipun menjadi pemikiran saya, bukan karena ini terjadi pada anak saya.
Tapi bagaimana kata-kata kasar seperti itu bisa keluar dari mulut anak-anak
yang belum baligh. Darimana mereka mendapat maklumat seperti itu? apakah orang
tua mereka tahu? Dsb.
.
‘Ah,
itu kan hanya kata-kata bercanda, anak kecil ga tahu apa-apa.’
.
Ish,
saya benci dengan pembelaan seperti ini. Jika setiap kesalahan disepelekan
karena alasan ketidaktahuan, lalu dimanakah urgensi menuntut ilmu? Apa pentingnya
pendidikan yang selalu digadang-gadang dan dikejar-kejar? Bahkan di dalam Islam
menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban bagi individu.
.
Anak-anak
belajar di rumah, bersama guru utamanya, orang tua terutama ibunya. Adalah salah
bila menganggap pendidikan atau menuntut ilmu bagi anak dianggap telah
dilakukan ketika seorang anak mulai masuk ke sebuah lembaga pendidikan (Mulai
dari tingkat PAUD hingga universitas).
.
Supaya
anak menjadi tahu maka dia harus belajar di madrasah pertamanya, dan untuk bisa
menjadi pendidik bagi anak, madrasah tersebut harus menuntut ilmu dan mengkaji.
Di sinilah letak urgensi menuntut ilmu. Bila madrasah berjalan dengan baik,
maka seharusnya anak-anak sudah tahu mana perkataan yang baik dan mana yang
menyakiti.
.
Anak-anak
mudah belajar, layaknya mesin perekam yang tak pernah OFF. Terkadang mereka
bisa menghafal hanya karena mendengar, bagus ingatannya akan janji manis orang
dewasa. Karena itu penting sekali bagi orang tua yang merawatnya untuk
memperhatikan apa yang anak kita dengar dan dilihat oleh mereka.
Kata-kata
yang meluncur dari teman-teman anak saya itu bisa jadi karena ia pernah
mendapat maklumat (informasi) yang salah, yang dengan mudah bisa dilihat dan
didengar dengan sangat mudah di zaman ini. Orang tuanya terpana akan
kecanggihan teknologi, namun kemudian anaknya menjadi korban teknologi.
.
Sebuah
hadits berbunyi, “Barangsiapa beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
.
Sungguh
perkara mengucapkan perkataan yang ahsan (baik) adalah perkara penting, apalagi
kalau mengaku beriman. Hal ini perlu ditanamkan sejak kecil, jauh sebelum
baligh.
.
Imam
Syafi’i telah menjadi mufti dan berhak mengeluarkan fatwa ketika berumur 15
tahun. Jangan sampai anak-anak kita hanya bisa bermain tik tok dan berharap
viral di usia itu. Betapa kemunduran itu nampak begitu nyata.
.
Maka,
jangan remehkan tentang mengajarkan perkataan yang baik dan benar kepada anak
kita. Standarnya harus jelas berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, supaya kelak
tidak “mencla-mencle” ketika harus menghadapi berbagai warna
kehidupan yang melukis dunia. Supaya ia bisa melukis dunia dengan keindahan
Islam.
.
Kalau
kata Batik Madrim,“Seorang ksatria itu tidak
mencla-mencle, pagi merah, siang hijau, sore kuning.”
Duh
jangan ya, kalau belum baligh saja kita tak bisa mengawasi, memperhatikan dan
mendidik mengenai perkataan dan akhlak yang baik, membuatnya serampangan mengeluarkan
kata-kata. Maka pilihan mereka di masa depan pun kemungkinan besar pasti lebih nyeleneh lagi. Jangan-jangan suka
main sikat sama saudara sendiri hanya karena berbeda pandangan dan pilihan. Alamakk..
Apa kata dunia???
.
Jangan
sampai stok calon pemimpin dunia berkurang karena lalainya kita memperhatikan
apa saja yang direkam oleh anak-anak.
.
.
Jember,
05 Jul 18
Helmiyatul
Hidayati
14 comments
Ya Allah, ngeri banget anak kecil dah berani ngancam bunuh orango duhhh semoga mbak tabah yaa...
ReplyDeleteHahaha aq sih kasihan aja ama ortunya..
Deletekeluarga memang sumber pendidikan anak terbaik, jangan sampai mudah terpengaruh hal buruk dari luar.
ReplyDeleteyup betull
DeleteDuh ngeriii, kadang nggak habis pikir ya kok bisa anak kecil ngomong seperti itu, apakah mungkin karena tontonan tv atau apa ya.
ReplyDeletebisa jadi mbak
DeleteAlhamdulillah ya mbak ada komunikasi baik antara anak dan orang tua. Betapa pentingnya komunikasi itu.
ReplyDeletelama tak ada kabar dirimu ness.. hehe
Deleteanak2 yg ga biasa main sama Radit ya brarti? Iyap, sekarang memang ortu sdh lbh menyerahkan pendidikan ke sekolah yg notabene juga ga bisa diandalkan. Semoga banyak yg baca tulisan ini ya, barakallahu
ReplyDeleteiya mbak temen baru. Aamiinn
Deletesusah ya mbak buat mendidik anak? ketika keliru maka bisa berimbas ke anak juga ya.
ReplyDeleteyup..
Deletemakasih sudah diingatkan kembali.kalau anak-anak memang perekam utama. brhati-hatilah kita para orang tua ya mbak..
ReplyDeleteyup mbakk..
DeleteSelamat datang! Berikan komentar yang nyaman dan semoga harimu menyenangkan :)