Sultan Agung : Raja Islam di Jawa yang Menarik Perhatian Khalifah
July 25, 2019
Suatu ketika, kala rindu melanda. Rindu nonton drama kolosal Indonesia maksudnya hehe. Saya bertamu ke rumah Youtube dan mencarinya. Di posisi teratas muncullah film ini. Judul aslinya “Sultan Agung : Tahta, Perjuangan dan Cinta.”
Sejujurnya sampai 30 menit pertama saya nonton drama
ini, tidak ada aktor atau aktris yang saya kenal. Satu-satunya nama yang saya
kenal di film ini yakni nama sutradaranya : Hanung Bramantyo. Haha
Bahkan di 1 (satu) jam pertama, saya juga tidak
mendapatkan kesan yang saya kira dan saya inginkan. Karena di dalam kepala
saya, Sultan Agung adalah penguasa yang memimpin kerajaan Islam, maka saya
pikir film ini pun bernuansa religi. Ternyata tidak pemirsa. Ga usah saya
sebutkan rinci kenapa ya, ntar saya dibully. Lagipula tulisan ini tidak untuk
membahas itu kok. Hehe
Satu-satunya hal religi di dalam film ini (menurut
saya) hanya ada di narasi di akhir film ini yang menyatakan hubungan Khalifah
Murad IV dengan Sultan Agung. Yups, sebaris kalimat yang hanya muncul tak lebih
dari 5 detik itulah moment “religi”-nya.
SINOPSIS
Sejak kecil RM Rangsang (nama kecil Sultan Agung)
sudah dikirim mondok ke padepokan. Di padepokan inilah dia bertemu dengan Nimas
Lembayung (tokoh fiksi) dan jatuh cinta. Padepokan ala dulu tidak hanya
mengajarkan agama tapi juga dipadu dengan ilmu bela diri.
RM Rangsang, di sana menjadi pemuda yang tampan,
gagah, cekatan, pintar sehingga menjadi favorit banyak orang.
Hingga suatu ketika ia harus kembali ke Mataram untuk
menggantikan ayahnya yang wafat. Pada saat itu identitasnya sebagai pangeran
terungkap yang membuat Lembayung patah hati, namun bersedia mendukung RM
Rangsang agar menjadi raja yang hebat dengan caranya sendiri.
RM Rangsang naik tahta dan menikahi putri Adipati
Lembang yang menjadi permaisyurinya. Dalam masa pemerintahannya, Sultan Agung
sangat tegas penolakannya pada VOC. Ia bersikukuh merebut Batavia meskipun
banyak yang memberikan pendapat bahwa itu bukan ide yang bagus. Pada serangan
yang terakhir, Gubernur jenderal VOC yaitu J.P. Coen meninggal
karena wabah kolera karena pasukan Mataram mengotori sungai Ciliwung.
Meskipun
mengalami kekalahan, penyerangan Mataram ke Batavia di sinyalir menjadi “pemicu”
perjuangan-perjuangan lain untuk melawan penjajahan.
SISI
LAIN
Ketika
Sultan Agung memerintah, Mataram Islam sedang menghadapi tantangan karena
kedatangan imperialis dari barat. Dimana Indonesia dijadikan arena perang salib
yakni antara Katolik Portugis di Malaka VS Protestan Belanda (VOC) di Batavia. Perang
ini terjadi dalam rangka memperebutkan rempah-rempah dan daerah jajahan.
Eropa
pada masa itu tidak memiliki komoditi yang bisa ditukar dengan barang dagangan
dari Asia dan Afrika. Sehingga untuk mendapatkan rempah-rempah mereka menggunakan
jalan perang.
Kapal-kapal
VOC berangkat dari pelabuhan Eropa sebagai kapal yang kosong. Untuk mengurangi
oleng di tengah samudera, mereka mengisinya dengan batu. Apabila telah sampai
di pelabuhan Nusantara Indonesia, batu dibuang dan diganti dengan muatan barang
hasil perampokan.
Sultan
Agung (1613-1645 M) berusaha membebaskan Batavia dari cengkeraman VOC. Bersama
dengan Dipati OekOer dari Tatar Ukur melancarakan serangan ke Batavia pada
tahun 1628-1629 M. Serangan ini sebenarnya menjadikan banyak serdadu Belanda
ditawan di Yogyakarta. Cukup membuat sibuk J. P Coen. Sayangnya perlawanan
Sultan Agung tidak berlanjut karena putranya, Amngkurat I berbalik bekerjasama
dengan VOC (Sumber : API SEJARAH 1).
Narasi terakhir dari film ini berbunyi, “Gelar dari
Sultan Murad IV yang diwakilkan SYARIF Mekah, Zaid Ibnu Muhsin Al Hasyimi telah
mengukuhkan sosok RM Rangsang menjadi khalifatullah panotogomo yang kelak
menjadi gelar Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogjokarto Hadiningrat
(Yogyakarta)”
Pada
tahun 1640, Sultan Agung Hanyakrakusuma, penguasa ketiga Kerajaan Sultan
Mataram di Jawa, mengirimkan utusan kepada Sultan Turki Utsmani yang ketika itu
dijabat oleh Murad IV, yang kemudian utusan ini – menurut suatu cerita – hanya
bisa sampai di Makkah dan kemudian diwakili oleh Zaid bin Muhsin Al-Hasyimi,
seorang Syarif Makkah di bawah Turki Utsmani saat itu.
Sultan
Agung dari Mataram diberikan gelar “Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram
Jawi” yang dengan gelar ini mengukuhkan Sultan Agung sebagai satu ikatan dengan
Daulah Utsmaniyah untuk kemudian memberikan satu arahan peradaban bagi
masyarakat di nusantara (salimafillah.com).
Nah begitulah, sebenarnya sejak zaman dahulu kala. Indonesia memiliki hubungan erat dengan Kekhilafahan. namun anehnya, zaman sekarang banyak yang menolak Khilafah dan menganggapnya sebagai sistem asing yang diimport. Bahkan hingga menolak bendera tauhid yang menjadi "ciri khas" kekhilafahan. Mungkin kalo Sultan Agung masih hidup, beliau akan memberi titah, "Keluar kamu dari Mataram.."
Haha
Nah begitulah, sebenarnya sejak zaman dahulu kala. Indonesia memiliki hubungan erat dengan Kekhilafahan. namun anehnya, zaman sekarang banyak yang menolak Khilafah dan menganggapnya sebagai sistem asing yang diimport. Bahkan hingga menolak bendera tauhid yang menjadi "ciri khas" kekhilafahan. Mungkin kalo Sultan Agung masih hidup, beliau akan memberi titah, "Keluar kamu dari Mataram.."
Haha
0 comments
Selamat datang! Berikan komentar yang nyaman dan semoga harimu menyenangkan :)