Gabbar is Back : Bukan Pahlawan Kesiangan Tapi Islam yang Akan Menyelamatkan
August 04, 2019Gabbar is Back merupakan film India kedua yang aku review setelah RAID di sini. Sebenarnya kedua film ini memiliki benang merah yang sama : korupsi atau penggelapan uang. Bedanya (masih versi aku), di film Gabbar is Back mengungkap korupsi di departemen kepolisian dan kolektor (aku rasa ini sebutan untuk para perwakilan rakyat), sementara film RAID adalah tentang penggelapan pajak oleh penguasa sekaligus pengusaha. Selain kalo Gabbar is Back adalah fiksi dan RAID diangkat dari kisah nyata.
Film Gabbar is Back yang diproduksi tahun 2015 ini
merupakan film aksi, jadi kita akan melihat banyak adegan perkelahian. Beda ya
dengan film RAID yang lebih menampilkan strategi dan permainan kata sebagai
senjata.
Kalo soal aktor dan aktris ga usah ditanya ya,
generasi Boomer, X dan Y pasti ga asing, paling tidak dengan pemeran utamanya.
SINOPSIS
Sepuluh orang kolektor diculik dan salah seorangnya ditemukan
meninggal dengan cara digantung. Bersama dengan mayatnya ada setumpuk dokumen
yang merupakan bukti suap, korupsi atau kriminalnya. Gabbar menyatakan
bertanggung jawab terhadap kejadian ini. Namun polisi, media dan rakyat tidak
ada yang mengetahui siapa sejatinya Gabbar.
Di kepolisian, semua bingung menemukan cara untuk
menangkap Gabbar, namun tidak ada yang mempedulikan polisi “trainee” Sadhuram
yang akhirnya menemukan kaitan Gabbar dengan Universitas Nasional.
Sementara di Universitas Nasional sendiri ada seorang
profesor bernama Aditya yang memiliki reputasi hebat. Dia cerdas, kuat dan
pandai berkelahi. Banyak mahasiswa yang kagum kepadanya. Dan memang dialah
sejatinya yang berperan sebagai Gabbar atau yang memberi hukuman mati bagi para
koruptor.
Suatu ketika Aditya bertemu dengan Shruti hingga pada
pristiwa ia harus mengantar Shruti ke rumah sakit Patil. Di rumah sakit itu
Aditya merasa marah melihat praktek tidak manusiawi yang dilakukan oleh dokter
dan manajemennya untuk memeras pasien. Adegan tentang kecurangan rumah sakit
ini banyak ditemukan di youtube. Ceritanya, demi meraup keuntungan yang banyak,
bahkan pasien yang sudah mati pun diberi pengobatan agar keluarga pasien
membayar biaya lebih banyak.
Ketika “kecurangan” rumah sakit ini menyebar di media,
massa berdemo hingga menyebabkan Vijay Patil, sang pemilik rumah sakit
meninggal. Ayahnya Digvijay Patil kembali untuk membalas dendam atas kematian
anaknya. Dan sekali lagi ia berhadapan dengan Aditya.
Film ini berakhir dengan kematian Digvijay Patil di
tangan Gabbar/Aditya. Untuk selanjutnya Aditya pun menyerahkan diri ke polisi
dengan diiringi oleh “ketidakrelaan” mahasiswa dan rakyat. Itu karena
orang-orang yang dibunuh oleh Gabbar adalah orang-orang yang membuat rakyat
menderita akibat korupsi atau pembuat kebijakan yang merugikan rakyat.
SISI LAIN
Sebenarnya India tidak seindah film-filmnya. Negara yang
pernah dipimpin Sultan Jalaludin Akbar ini merupakan salah satu negara terkorup
di Asia. Sekitar 62% warganya mengaku pernah atau harus memberikan uang pelicin
agar mendapat pelayanan umum. 70 % diantaranya adalah memberi sogokan pada
jajaran kepolisian. Seperti kata Gabbar di dalam film, “Suap seperti sesembahan”
Bagaimana di Indonesia? Sama aja. Korupsi merajalela.
Film Gabbar is Back sejatinya adalah gambaran kecil
betapa gagalnya sistem pemerintahan demokrasi sehingga praktek korupsi
menjamur. Akibatnya bisa dirasakan oleh banyak rakyat : kemelaratan.
Gabbar is Back juga menjual mimpi-mimpi, bahwa sebuah
negara akan damai tanpa korupsi bila tak ada koruptor, karena itu Gabbar
membunuh mereka. Dan agar terlaksana kehidupan seperti itu maka butuh
manusia-manusia seperti Gabbar yang akan “memusnahkan” koruptor yang kemudian
akan diganti dengan orang-orang baik. Padahal hal seperti ini hanya ada dalam dunia
ilusi. Kenapa? Pertama, penyebab korupsi adalah sistemik, tidak bisa disolusi
oleh seorang pahlawan kesiangan. Kedua, karena Gabbar hanya ada dalam drama.
Sistem pemerintahan yang dipakai banyak negara,
termasuk India dan Indonesia adalah demokrasi yang membutuhkan biaya tinggi. Membuat
siapa saja yang mengejar kekuasaan harus merogoh kocek yang tidak sedikit untuk
kampanye dan “mahar” politik. Belum lagi, karena demokrasi lahir akibat paham
sekulerisme (memisahkan agama dari kehidupan) yang mendarah-daging, menjadi
perwakilan rakyat dianggap hanya profesi yang merupakan lahan basah dan sumber
mengeruk keuntungan.
Di dalam Islam, korupsi sama dengan pencurian yang
memiliki sanksi tegas dengan dipotong tangan. Berbeda dengan sekuler, prinsip
hidup seorang muslim adalah selalu merasa diawasi oleh Allah (muroqobah). Ketakwaannya sejalan dengan ketakutannya melakukan pelanggaran hukum
syara, termasuk korupsi. Sehingga perwakilan rakyat akan menganggap
bahwa jabatan adalah amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Bahkan segala jalan menuju korupsi pun akan ditutup,
seperti sistem pendidikan Islam yang akan melahirkan manusia-manusia bertakwa
dan siap menjadi pemimpin yang melaksanakan hukum syariah. Sistem ekonomi Islam
yang menyejahterakan, juga ditutupnya banyak pemikiran-pemikiran asing dan
sumber liberalisasi.
Dengan begitu, bukan pahlawan kesiangan yang bisa
menyelamatkan dunia ini, tapi Islam yang Rahmatan Lil Alamin.
Wallahu a’lam..
0 comments
Selamat datang! Berikan komentar yang nyaman dan semoga harimu menyenangkan :)