Kali ini merambah ke layar lebar negeri Ginseng ya. Nemu nih film ga sengaja, biasa nongol gitu aja di beranda youtube. Ceilehh.. kayak jelangkung, datang tak diundang, pulang pun tak di antar.
Ini salah
satu drama ngeri, karena bagi wanita lemah lelembut seperti saya, film ini
sarat dengan adegan kekerasan dan pembantaian. Lebih dari sekedar penusukan juga,
dan ga pake kunai. #Eh
Sebenarnya
ceritanya sederhana, bahkan setelah menonton selama 20 menit, saya bisa menebak
jalan cerita. Macam nonton drama di Indonesia. Hehehe..
No romance,
paling banter sih ada adegan lirik-lirikan. Karena fokus dengan jalan cerita,
saya tidak ingat sama sekali nama pemerannya. Jadi kemungkinan di sinopsis
nanti, nama pemeran saya karang. Huhuhu..
Setting cerita
adalah di era Joseon/Goryeo, entah yang mana, bisa jadi fiksi juga. Secara keseluruhan
adalah bagaimana ‘gilanya’ seseorang kalo udah dibutakan tahta. Bahkan nyawa
rakyat pun tak ada harganya. Mengingatkan saya pada sebuah negeri.. #Ops
SINOPSIS
Film ini
diawali dengan pembantaian sekelompok rakyat yang ‘dianggap’ memiliki penyakit
menular, atas titah kerajaan tentunya. Padahal sebenarnya tidak semua rakyat
yang dibantai itu memiliki penyakit. Seorang jenderal pasukan merasa iba, dan
menyelamatkan seorang anak perempuan dari pembantaian tersebut. Sejak saat itu
sang Jenderal menghilang dari istana dan hiruk pikuk di dalamnya.
Ternyata sang
Jenderal bersama seorang teman seperjuangannya membesarkan anak perempuan itu
di tengah hutan sebagai anaknya. Hingga suatu ketika Sang Raja memanggil
kembali sang Jenderal karena ia butuh bantuan untuk menumpas monster yang
sering memakan rakyat.
Sang Jenderal
memulai penyelidikan tentang monster yang mengancam kehidupan dan keamanan
rakyat, hingga ia sampai pada kenyataan bahwa selama ini rakyat ‘dibantai’
bukan oleh monster tapi oleh pasukan khusus perdana menteri yang ingin merebut
tahta sang raja alias melakukan kudeta. Ia menggunakan isu monster yang ia
ciptakan untuk menjatuhkan pamor raja.
Namun,
siapa sangka, di samping ’monster buatan’ sang perdana menteri, monster
sungguhan berupa hewan jadi-jadian yang menjadikan manusia sebagai makanannya
benar-benar nyata. Ia merupakan hewan “eksperimen” yang tercipta dari hobi raja
terdahulu. Dan kandang hewan itu ternyata berada di bawah tanah istana.
Film ini
berakhir happy ending, monster sungguhan menelan banyak korban termasuk perdana
menteri dan pasukannya, juga menghancurkan istana yang merupakan simbol
pemerintahan. Sementara monster itu meninggal di tangan sang Jenderal.
Sang
Jenderal kembali menjadi pria biasa di gunung, sementara anak perempuannya
menjadi ‘tenaga kesehatan’ di istana.
SISI LAIN
Adegan ngeri
dalam cerita ini adalah tentu ketika terjadi pembantaian terhadap rakyat. Pertama,
dengan dalih ‘membinasakan’ penyakit menular. Kedua, pembantaian sekelompok
shaman (semacam peramal) hanya untuk pencitraan, menanam ketakutan pada
masyarakat. Ketiga, pembantaian untuk menghilangkan bukti oleh oposisi dan
semakin memberi citra buruk pada petahana.
Mungkin karena
setting jaman dalam cerita itu adalah Joseon/Goryeo maka pembantaian terhadap
rakyat adalah dengan jalan berdarah-darah, licik, licin dan beringas. Tapi jangan
salah, zaman sekarang pun penguasa bisa melakukan pembantaian terhadap
rakyatnya. Endingnya sama : penderitaan bagi rakyat. Penguasa menjadi monster
bagi rakyatnya sendiri.
Hanya saja
di jaman modern, penjajahan tak lagi berupa fisik namun berupa penjajahan
pemikiran. Akibat segelintir manusia yang menyalahgunakan amanah
kepemimpinannya. Keikhlasan yang seharusnya menjadi landasan seseorang dalam
hidupnya telah jauh dari mereka. Benarlah bila Nabi Muhammad SAW pernah
bersabda, “Sungguh, seandainya anak Adam memiliki satu lembah dari
emas, niscaya ia sangat ingin mempunyai dua lembah (emas). Dan tidak akan ada
yang memenuhi mulutnya kecuali tanah.’ Kemudian Allâh mengampuni orang
yang bertaubat.”
Perzinahan
meraja-lela, pembunuhan jadi berita sehari-hari, disintegrasi bangsa menjadi
ancaman negeri. Bencana alam silih berganti, penistaan agama meningkat,
ketidakadilan semakin nampak di depan mata, kemiskinan yang menyakitkan,
kesulitan hidup yang tak tertangani. Hilangnya ketakwaan, persekusi terhadap
ulama dan ajaran Islam. Hingga rasanya sudah biasa sesuatu yang halal menjadi
haram dan yang haram menjadi halal. Belum lagi penjajahan dan genosida atas
negeri-negeri muslim di belahan negara lain.. Oohh..
Dalam sistem kehidupan kapitalis-sekuler sekarang ini, memang berkembang
subur penguasa-penguasa dholim yang tidak memenuhi hak rakyatnya. Juga hak
Rabb-Nya agar pengaturan Bumi berdasarkan hukum-Nya. Sehingga dicabutlah segala
keberkahan baik di langit maupun di bumi. Tak ayal penderitaan rakyat seakan
tak ketemu ujungnya. Padahal di dalam Islam, seharusnya “Imam (Khalifah) adalah raa’in
(pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR
al-Bukhari).
Mudah-mudahan
sistem yang menyuburkan penguasa-penguasa monster segera tumbang, digantikan
sistem Islam yang telah terbukti secara dalil, akal dan empiris mampu
menyejahterakan. Wallhu a’alam bisshowab.